UBB Dirikan Museum dan Pusat Kajian Melayu

 

Rektor UBB Muh Yusuf beserta wakil rektor berfose bersama dengan mantan pengurus Presidium Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pegiat senibudaya, pengusaha asal Bangka dan sejarawan Bangka, di Ruang Kerja Rektor UBB, Selasa (04/07/2017) siang.

BANGKAPOS.COM -- Universitas Bangka Belitung (UBB) terus melakukan gebrakan. Untuk melestarikan dan mengembangkan budaya, universitas negeri yang dikenal dengan moto “Unggul Membangun Peradaban” ini akan membangun museum budaya dan rumah Melayu di jantung Kampus Terpadu UBB, Balunijuk, Merawang.

“Untuk itu kami mohon dukungan dari tokoh adat, pegiat budaya, mantan pengurus Presidium Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan semua pihak di provinsi ini,” ujar Rektor UBB Muh Yusuf, yang didampingi Warek I Ismed Inonu, Warek II Agus Hartoko dan Warek III Fadilah Sobri, Kepala UBB Press Eddy Jajang J Atmaja, ketika halal bil halal dengan tokoh adat, pegiat budaya, pengusaha asal Babel dan sejarawan Babel di ruang kerja rektor, Selasa (04/07/2017) siang.

Muh Yusuf mengatakan rencana membangun museum dan rumah Melayu itu merupakan bagian dari usaha “membumikan” moto UBB. Apalagi budaya Melayu -- baik berupa benda dan tak benda -- di Bangka Belitung yang dikenal unik, beragam dan menarik, sangat patut untuk diketahui masyarakat secara luas.

“Karena alasan itulah kami menilai UBB perlu untuk mendirikan museum dan rumah Melayu Bangka Belitung,” ujar Muh Yusuf dalam pertemuan yang dihadiri Johan Murod, H Saviat S, Agus Adaw (mantan pengurus Presidum Pembentukan Provinsi Kepulauan Babel), Ahmad Elvian (sejarawan Babel), Sukma Wijaya (pegiat senibudaya), Erwin Djali (pengusaha) dam Aimi Sulaiman (dosen UBB).

Agus Hartoko yang merintis rencana tersebut sejak awal, mengemukakan, dalam membangun museum budaya dan rumah Melayu itu, UBB tak berhenti dalam hal yang bersifat fisik. Namun hal-hal yang bernuansa bukan fisik pun akan dilakukan dan akan terus giat dikembangkan.

“Kita misalnya segera akan mendirikan Pusat Kajian Melayu Bangka Belitung; untuk meneliti semua aspek yang berkaitan dengan budaya yang ada dan “hidup” di daerah ini. Kajian akademis, dalam kaitan ini, harus ada, selain tari, teater rakyat, pantun dan sebagainya,” ujar Agus yang meminta peran serta pegiat seni budaya dan pemerhati di daerah ini.

Sejauh ini menurut Agus Hartoko, UBB telah mengumpulkan puluhan buku mengenai sosial budaya Bangka Belitung, dan artefak lainnya (keramik) yang nantinya akan mengisi museum dan rumah Melayu tersebut. Termasuk pula alat musik dan pakaian tari Melayu Bangka Belitung.

“Kita sudah mulai membuat agenda kegiatan ke arah itu. Salah satunya, dalam waktu dekat ini, kita akan melakukan ekspedisi meneliti dan mengiventarisir rumah-rumah Melayu di sejumlah daerah di Bangka Belitung. Ini kita lakukan karena tak ingin rumah vernakular Melayu itu punah seiring dengan perkembangan jaman,” tukas Agus Hartoko.

Agus yang adalah profesor di bidang kelautan dan perikanan itu menambahkan, tahun depan UBB akan menyelenggarakan seminar atau konferensi internasional mengenai Melayu. Seminar internasional ini selain akan dihadiri akademisi dan pakar Melayu dari sejumlah negara. Juga dalam satu sesi UBB akan memaparkan sejumlah kajian ilmiah mengenai Melayu Bangka Belitung.

Sejumlah rencana “besar” UBB itu mendapat tanggapan positif dari Johan Murod, H Saviat S, Agus Adaw (mantan pengurus Presidum Pembentukan Provinsi Kepulauan Babel), Ahmad Elvian (sejarawan Babel), Sukma Wijaya (pengiat senibudaya), Erwin Djali (pengusaha) dam Aimi (dosen UBB). Menurut mereka rencana UBB itu penting dan bernuansa strategis, sebab bagian dari upaya melestarikan budaya dan penggalian jati diri Melayu di Bangka Belitung.

“Saya ini sudah puluhan tahun merantau ke Jakarta, ingin sekali jati diri kita orang Babel ini dipelihara dan terus digali. Ini ‘kan warisan penting untuk anak-cucu; generasi penerus kita di masa depan,” ujar Erwin Djali, pengusaha Jakarta asal Bangka Tengah.

Ia berkali-kali mengucapkan terimakasih atas ‘terobosan’ UBB membuat museum, rumah Melayu dan Pusat Kajian Melayu Bangka Belitung.

“Sebagai pengusaha, apa yang dibuat UBB ini disamping preservasi budaya kita, pun ada peluang ‘profit taking’ (mendapatkan pemasukkan-red) karena bisa mendatangkan wisatawan dari luar Babel ke sini,” ulas Erwin.

Pendapat senada juga dikemukakan Johan Murod, Agus Adaw, Ahmad Elvian, Sukma dan Saviat.

Untuk memerkaya koleksi museum budaya nantinya, Johan mengusulkan UBB membuat ‘banner’ kata atau ungkapan yang makna dan bunyinya sama dengan daerah (alam) Melayu lainnya.

Ia mengambil contoh kata ‘pajubuk’ yang bermakna “ayo, silakan makan” juga akrab atau dikenal di Aceh.

Manakala kata “aok” yang di Bangka berarti “iya” ternyata sepengetahuannya bermakna sama dan dipakai di Kalimantan Barat, Brunei, dan warga yang bermukim di beberapa pulau di Kepulauan Riau.

“Adapun kata ‘basuh perabot’ di Bangka bermakna membersihkan alat-alat rumahtangga, pun bermakna sama dengan Johor dan lain-lain kawasan bermukim orang Melayu,” tutur Johan, yang Ketua HNSI Bangka Belitung ini.

Sementara itu Ahmad Elvian menilai apa yang direncanakan UBB (membuat museum, rumah Melayu dan Pusat Kajian Melayu) ia ibaratkan bagaikan ‘mengangkat kayu terendam’. Meski untuk mengangkat itu perlu pendekatan dari sisi mana, tapi apapun jua harus dilakukan. Dalam kaitan ini, dalam kapasitasnya -- baik sebagai sejarawan maupun penulis buku --, ia menegaskan senantiasa siap mendukung UBB.

“Tentang rumah Melayu yang akan diteliti dan nantinya akan didirikan di UBB, saya mengusulkan ‘memotret’ vernakular rumah Melayu Bangka Belitung saja. Sebab kalau kita menggunakan istilah rumah adat, banyak perdebatannya,” ujar Ahmad Elvian, yang menambahkan vernakular rumah Melayu berarti rumah tinggal orang Melayu kebanyakan.

Dalam kesempatan itu Elvian yang dikenal produktif menulis buku itu mengungkapkan keprihatinannya. Pasalnya dalam sejumlah seminar internasional yang mengupas artefak (arkeologi) bawah air (laut) di manca negara, tak pernah ada wakil pun dari Bangka Belitung hadir.

“Padahal materi yang dibahas dalam seminar itu adalah artefak yang ada di bawah laut Bangka Belitung,” ujar Ahmad Elvian.

Sedangkan Saviat dalam kesempatan yang sama mengucapkan terimakasih atas undangan UBB menghadiri halal bil halal di Kampus Terpadu UBB.

“Kehadiran UBB ini merupakan salah satu dari sekian amanat dari perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. UBB sudah jauh hari direncanakan hadir; untuk mencerdaskan dan memberikan pendidikan bagi generasi muda Bangka Belitung. Tapi tolong sejarah pembentukan universitas ini diluruskan. Katakan yang benar, itu benar. Harus berani jujur!,” ujar Saviat.

Pendirian UBB adalah bagian dari amanah pembentukan provinsi, menurut Saviat, telah diagendakan oleh Presidium Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Namun setelah empat tahun provinsi berdiri, universitas ini masih belum didirikan.

“Pada tahun keempat, saat rapat paripurna DPRD Babel saya mengajukan interupsi agar gubernur yang waktu itu Bapak Hudarni Rani mendirikan UBB. Jadi ada prosesnya, tidak sertamerta ada,” ujar Saviat.

Tehadap rencana UBB mendirikan museum, rumah Melayu dan Pusat Kajian Melayu, Agus Adaw menilai langkah UBB itu perlu didukung semua pihak. “Banyak hal perlu kita lestarikan, serti bahasa Bangka yang tiap kampung berbeda. Juga kuliner dan pembungkusnya dari tanaman khas Bangka, itu perlu kita lestarikan,” ujar Agus Adaw. (*/doi)

Penulis: 
Dody
Sumber: 
BANGKAPOS
Editor: 
Iwan Satriawan
Kategori Informasi: