Ketika UASBN Berganti Ujian Sekolah

Di penghujung tahun 2013 kemarin, ada kabar gembira bagi dunia pendidikan kita khususnya pendidikan dasar.  Ujian Nasional di tingkat SD atau yang selama ini dikenal dengan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) mulai tahun 2014 ditiadakan. Para pendidik, orang tua dan peserta didik sendiri di sekolah dasar setidaknya saat ini dapat bernafas lega. Karena ketergantungan akan predikat lulus atau tidak lulus yang selama ini "menghantui" ketika UASBN diselenggarakan tidak perlu lagi ditakuti.
Peniadaan UASBN ini terjadi, sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 2013 tentang perubahan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).   Dimana pada pasal 67 ayat 1 a disebutkan bahwa Ujian  Nasional untuk satuan pendidikan jalur  formal pendidikan dasar sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) dikecualikan untuk SD/MI/SDLB.  Sebagai penggantinya, di tingkat Sekolah Dasar, UASBN berganti menjadi  Ujian Sekolah.  Trus pertanyaannya apa makna dan implikasinya bagi dunia pendidikan khususnya di Sekolah Dasar kita ?  

UASBN vs Ujian Sekolah
UASBN yang telah diselenggarakan sejak tahun 2008 merupakan ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah, menggantikan EBTANAS.  Menurut Permendiknas No 32 Tahun 2007 tentang UASBN SD, MI,SDLB tahun 2007/2008 setidaknya ada dua tujuan penyelenggaraan UASBN oleh pemerintah yaitu pertama untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA); dan kedua untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu. 
Sedangkan hasil dari UASBN ini kemudian digunakan untuk (a) pemetaan mutu satuan pendidikan;(b) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (c) penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan (d) dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.  
Isi dari tujuan dan penggunaan hasil UASBN inilah yang kemudian banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Pendapat yang kontra terhadaap penyelenggaraan UASBN, terutama ketika UASBN dijadikan sebagai penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. 
Setidaknya pelaksanaan UASBN secara yuridis telah dianggap bertentangan dengan UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.  Dimana dalam pasal 17 (ayat 2) disebutkan secara jelas bahwa pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Hal ini mengartikan bahwa SD dan SMP atau sederajat ada pada peda level yang sama yaitu pendidikan dasar.  
Pemberlakuan UASBN menegasikan prinsip yang telah ditegaskan dalam UU Sisdiknas tersebut. Sebab, ada predikat lulus atau tidak lulus bagi peserta didik SD setelah mereka menyelesaikan  program pendidkan di SD. Hal ini menunjukkan bahwa SD atau sederajat berada pada level yang berbeda dengan SMP atau sederajat.  Kondisi ini tentunya tidak senafas dengan upaya pemerintah sendiri untuk  merealisasikan program wajib belajar 9 tahun. 
Predikat "lulus"dan "tidak lulus" ini juga yang memberikan tekanan psikologis bagi peserta didik ketika berdapan dengan UASBN..  Pihak sekolah pun, di era otonomi ini pula tidak mau "kehilangan muka" jika harus menanggung beban ketidaklulusan siswa.  Akhirnya, kita semua sangat memaklumi ketika peserta didik dipaksa untuk mendapatkan pemadatan materi semester 2 di awal semester ketika duduk di kelas 6.  Alasannya agar lebih banyak waktu untuk peserta didik mengulang pelajaran dan latihan soal.  Orangtua pun rela merogoh kocek tambahan untuk memberikan les tambahan melalui bimbingan belajar di luar sekolah.  
Secara konseptual tujuan penyelenggaraan UASBN untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu,  hanya semakin mempersempit makna akan kecerdasan.  Ditambah lagi dengan dijadikannya hasil UASBN sebagai penentu utama dalam kelulusan peserta didik.  Trend kecerdasan jamak yang dikemukakan oleh Howard Gardner seakan dinafikan dengan penyelenggaraan UASBN.  Kompetensi kelulusan peserta didik hanya menekankan pada kompetensi beberapa mata pelajaran tertentu saja.  Belum lagi dengan penggunaan instrumen pengukuran yang hanya menggunakan test saja, yang mengartikan bahwa kompetensi siswa yang diukur hanya pada aspek kognitif semata.
Dengan ditetapkannya PP No 32 tahun 2013, mulai tahun 2014 ini UASBN tidak lagi diselenggarakan tetapi berganti menjadi Ujian Sekolah. Peniadaan UASBN dan berlakunya ujian sekolah setidaknya telah mengurai pertentangan yang selama ini telah terjadi tentang penyelenggaraan UASBN.  Hal ini setidaknya dapat dilihat dari pertama dikembalikannya hak pendidik sebagai evaluator keberhasilan belajar peserta didik. Hal ini seperti disebutkan  dalam permendikbud No 102 tentang penyelenggaraan ujian sekolah SD/Madrasah, SDLB dan program paket A pasal 8 disebutkan bahwa kriteria kelulusan ditentukan oleh satuan pendidikan. Walaupun ketika pelaksanaan UASBN satuan pendidikan juga diberikan kewenangam dalam menentukan kelulusan siswa tapi porsi UASBN masih sangat besar dalam penentuan kelulusan.  Dengan kata lain, Pemerintah masih memberikan kebijakan yang "setengah hati" kepada satuan pendidikan dalam penentuan kelulusana siswa SD. 
Kedua pada pasal 2 disebutkan bahwa ujian sekolah merupakan kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran dan muatan lokal sesuai Standar Nasional Pendidikan. Hal ini mengindikasikan penghargaan terhadap semua bentuk kecerdasan peserta didik. Ketiga proses belajar yang telah dilalui oleh peserta didik selama enam tahun tidak hanya ditentukan oleh masa ujian selama 3 hari.  
Proses belajar dan hasil belajar yang telah dilalui siswa ikut menjadi bahan pertimbangan pendidik ketika menentukan kelulusan bagi peserta didik. Keempat, kriteria kompetensi lulusan siswa tidak hanya dilakukan berdasarkan pertimbangan aspek kognitif saja, tetapi juga menyangkut aspek afektif dan psikomotorik. Walaupun, tidak disebutkan secara tersurat dalam POS penyelenggaraan Ujian sekolah tahun 2014 tentang kriteria kelulusan yang harus mempertimbangkan kompetensi dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Disebutkan pada pasal 5 tentang kriteria kelulusan peserta dari satuan pendidikan bahwa salah satunya memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran.  

Implikasi bagi pendidikan SD
Pemberlakuan ujian sekolah ini setidaknya memberikan implikasi bagi satuan pendidikan untuk  mengembalikan pendidikan pada "jalur" yang sesungguhnya yaitu membentuk perilaku siswa.  Hal ini mengindikasikan pendidik harus kembali menitikberatkan pembelajaran di kelas pada proses tidak lagi hanya pada hasil semata.  Pembelajaran pun sudah harus mengarah pada pembentukan siswa yang "bisa melakukan apa" dari pada "siswa tahu apa".  
Ketika ini dilaksanakan tentunya proses pembelajaran di sekolah tidak akan lagi menciptakan "manusia-manusia robot" tetapi sekolah yang menurut Munif Chatib sekolah yang memanusiakan manusia.  Dan penetapan ini tentunya juga senafas dengan kebijakan pemerintah memberlakukan kurikulum 2013.  Semoga penetapan ujian sekolah ini memberikan dampak pencerahan pada dunia pendidikan kita khususnya di pendidikan dasar.  (*)

Editor: emil
Sumber: bangkapos
Sumber: 
bangkapos
Penulis: 
Hesty, Widyaiswara LPMP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung